Selasa, 04 November 2014

Popularitas Dan Cinta Ketenaran Di Mata Orang-Orang Sholeh

Sesungguhnya orang-orang sholeh terdahulu adalah sebaik-baik panutan dan teladan bagi generasi yang datang belakangan. Dalam banyak petikan ayat-ayat al Qur'an dan al-Hadits menunjukan kemulian generasi sholeh terdahulu diantaranya;

Allah berfirman: “Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka (dalam melaksanakan) kebaikan, Allah ridha kepada mereka; dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. At-Taubah:100).

Rasulullah bersabda, “Sebaik–baik manusia adalah generasiku; kemudian generasi sesudahnya; kemudian generasi sesudahnya lagi. Selanjutnya akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang di antara mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Sebenarnya masih banyak ayat-ayat dan hadits-hadits senada yang menjelaskan keutamaan orang-orang sholeh terdahulu dan kemuliaan mereka serta kewajiban mengambil teladan kepada generasi tersebut namun pembahasan ini lebih fokus pada sikap dan perilaku orang-orang sholeh dalam menjauhi kemasyhuran dan syahwat tersembunyi. Meskipun ayat dan hadits diatas sebagai pengantar mengenali siapakah kalangan orang-orang sholeh yang direkomendasikan oleh Allah dan Rasul-Nya secara langsung dan tegas. Sehingga dalam mengamalkan ajaran Islam ini seharusnya kita mengambil contoh dari mereka bukan dari yang tidak mendapat jaminan dari Allah Azza wa Jalla. Dan tokoh paling pertama dan utama dalam kelompok orang-orang sholeh terdahulu adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam. Kemudian menyul sahabat-sahabatnya selanjutnya golongan tabi'in yaitu generasi yang bertemu dengan sahabat–sahabat rasulullah namun tidak bertemu dengan beliau. Dan selanjutnya orang-orang yang mengikuti dan mencontohi tiga generasi tersebut hingga akhir zaman.

Para orang-orang sholeh terdahulu, dalam kisah-kisah mereka, yang diriwayatkan secara shohih ketekunan mereka beribadah namun pada saat yang sama mereka sangat membenci menampakkan amalan mereka dihadapan manusia bahkan sangat menjauhi pujian manusia. Mereka benar-benar membangun amalan diatas fondasi keikhlasan semata-mata mengharap pahala dan ganjaran dari Allah subhanahu wata'ala. Mereka sangat takut ibadah dan amalannya terjatuh dalam penyakit-penyakit hati seperti riya'(ingin dilihat), sum'ah (ingin didengar) dan ujub (ingin dipuji).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang umatnya memuji beliau secara berlebihan sebagaimana orang Nasrani berlebih-lebihan terhadap Nabi Isa alahissalam. Dalam kesempatan yang lain beliau mengajarkan doa ketika dipuji orang lain yakni ya Allah janganlah mengazabku dengan apa yang mereka katakana dan ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui serta jadikanlah aku lebih baik dari yang mereka sangka.

Nabiullah Ibrahim alaihissalam selepas membangun Ka'bah berdoa Ya Allah terimalah amalan dari kami serta taubat kami, sesungguhnya Engkau maha menerima taubat dan maha penyayang . Beliau tidak berbangga dan membusungkan dada dengan amalan agung nan suci yang telah dilakukannya yaitu membangun baitullah melainkan merendahkan diri dihadapan Rabbnya seraya berdoa dengan penuh rasa takut agar amalannya diterima disisi Rabbnya.

Imam Assusiy pernah memaknai keikhlasan dengan mengatakan ikhlas adalah barangsiapa yang melihat keikhlasan dalam ikhlasnya maka sesungguhnya keikhlasannya masih memerlukan keikhlasan lagi.

Imam Syafii pernah berkata dalam Diwan sebagai refleksi kerendahhatian beliau, aku mencintai orang sholeh sedangkan aku bukan dari kalangan mereka, kelak aku berharap dapat meraih syafaat pertolongan mereka, aku membenci para pendosa walaupun aku sama dalam perbuatan meraka.
bersambung
Riyadh, 11011436, Maktabah Amir Salman, KSU