Senin, 23 Desember 2013

Meluruskan Kekeliruan Pemahaman Bolehnya Mengucapkan Selamat Natal

Tidak dapat dielakkan sebuah fenomena akhir tahun yang dijumpai oleh segenap bangsa Indonesia terkhusus kaum muslimin adalah perayaan natal dan tahun baru miladiyah (masehi). Meskipun menurut sensus kependudukan berdasarkan agama oleh BPS prosentasi umat Islam di Indonesia sebesar 86 %, namun seolah-olah media menunjukkan bahwa prosentase umat non muslim sangat signifikan. Sehingga trend tirani minoritas adalah suatu gejala yang dimunculkan yang merupakan upaya-upaya media hingga saat ini.

Masalah pluralisme di Indonesia adalah suatu hal yang biasa jika ditinjau dari kemajemukan budaya dan agama akan tetapi problematika pluralisme muncul ketika ada upaya sinkretisme agama dan hal ini sangat tidak rasional. Secara logika sederhana keberagamaan yang ada tidak akan pernah memberi nuansa yang indah jika ada salah satu varian yang berusaha menyerupai varian yang lain.

Melewati momen akhir tahun di negeri ini, umat Islam selalu dihadapkan pada tantangan yang memprihatinkan dari upaya sinkretisme agama. Sangat dimaklumkan kepada umat Islam untuk tidak turut serta ambil bagian dalam perayaan agama umat lain. Sudah kemestian bagi muslimin untuk menghormati pemeluk agama lain dalam menjalankan ibadahnya akan tetapi bukan berarti harus turut memberikan ucapan selamat dan memeriahkan acara peribadatan mereka.

Sebagai contoh kasus, pada perayaan natal pada akhir tahun umat Islam tidak boleh mengucapkan “Selamat Hari Natal” kepada pemeluk agama Nasrani. Karena hal ini bertentangan dengan aqidah dan keyakinan umat Islam. Bagaimana mungkin seorang muslim memberikan ucapan selamat kepada umat non muslim yang telah meresmikan Nabi Isa –alaihissalam- sebagai Tuhan. Sementara dalam pandangan ajaran umat Islam inti agama adalah tauhid –mengesakan Allah- tanpa memperserikatkan dengan tuhan yang lain. Maha suci Allah dari apa yang dilakukan oleh orang-orang non Muslim. Mengucapka selamat hari natal bermakna kita mengatakan bahwa selamat anda telah mempertuhankan Nabi Isa –alaihissalam-. Semoga Allah melindungi kita dari hal tersebut.

Maka dengan memberikan ucapan selamat hari natal kepada pemeluk Nasrani maka hal ini akan dapat menggangu keyakinan umat Islam bahkan dapat merusak kebersihan aqidah seorang muslim. Untuk lebih jelasnya silakan merujuk kepada fatwa Buya Hamka –semoga Allah merahmatinya-

Semoga Allah senatiasa membimbing kita diatas jalan-Nya yang lurus.
Riyadh, 20 Shafar 1435 H

Sahabatku Inilah Yang Ku Inginkan Darimu


Wahai pemuda shalih....
Seandainya malam-malammu tiada luput dari qiyam
Dan hari-hari shaummu tiada lalai dari shiyam
Dzikir pagi petangmu yang komitmen
Dan waktu dhuhamu yang konsisten
Ditambah tutur katamu yang santun penuh penghormatan

Disela-sela akhlaqmu yang mulia
Jauh dari kejudesan dan kepedasan berucap
Dipenuhi kelapangan hatimu memberi maaf
Dihiasi senyum selalu mengulum di wajah syahdumu
Menyapa sesiapa tanpa pilih kasih
Tanpa terbesit keraguanmu secuilpun

Penuh prasangka yang indah
Berpadu tatapan persahabatan yang lekat
Menyibak peluh duka setiap yang memandangmu
Rasakan suka bertabur bahagia setiap bersua denganmu

Lenyapkan kebekuan pada hati yang padam
Pesona cinta yang lahir dari lubuk sanubarimu yang dalam
Kan berpadu dengan sikap kedermawananmu
Mampu menyeruak ke dalam hati-hati saudaramu
Lahirkan kerinduan yang teramat bagimu

Iya... rindu yang fitrah
Bukan rindu yang sarat akan ahwa’
Bukan pula kasih yang sarat akan kepalsuan
Tapi...benih cinta dalam bingkai ukhuwah fillah
Demi Allah---tulus karena-Nya---
Sebagaimana dalam janji Rasulullah
Yang selalu pasti adanya

Bila suatu saat engkau kan jadi pemilik kemuliaan itu
Sungguh tiada keraguan
Engkaulah kan jadi panutan segenap ikhwanmu
Engkau laksana rembulan hadirkan cahaya terangi gulita

Iya... Engkau memang manusia
Yang tiada luput dari kealpaan
Dan ingatlah.....wahai pemuda shalih
Kepada Sang Rabb-lah tempat kembali
Memohon taufiq dan pertolongan
Tuk jadi manusia dambaan sejati
Tak lupa belajar dari kepriadian yang agung
Rasulullah shallallahu ’alahi wasallam

Sabtu, 14 Desember 2013

Berhati-hati Dengan Rasa Dengki

Sifat Hasad atau dengki atau dalam makna yang lain adalah kedengkian atau rasa dengki terhadap sesama manusia disebabkan oleh rezeki dari Allah Azza Wajalla yang berlebih terhadap saudaranya dengan disertai dengan keinginan agar kenikmatan yang diperoleh rivalnya tersebut hilang atau musnah.

Penyakit hati ini sangat berbahaya karena ia dapat melalap kebaikan sejawatnya yang telah menoreh jasa terhadapnya sebagaimana api melalap habis kayu bakar. Sangat jarang sekali muncul sifat hasad kecuali pada keadaan orang yang memiliki kesamaan misalnya pekerjaan atau hal-hal lainnya misalnya hasadnya para pedagang muncul disaat melihat ada hal yang lebih pada rekannya, contoh lain hasadnya sesama pelajar terhadap teman-temannya karena kelebihan yang yang dimiliki kawannya dan seterusnya. Demikianlah syaitan yang begitu pandai mengadu domba umat manusia agar terjatuh dalam perselisihan. Bukankah kisah Qabil dan Habil cukup mengesankan bagi kita atas bahayanya sifat ini? Solusi dari sifat hasad terhadap sesama adalah dengan menyadari bahwa anugerah dan karunia yang diberikan Allah kepada makhluknya berbeda-beda sesuai dengan yang dikehendaki-Nya

Bukankah Allah Subhanahu Wata'ala telah menyatakan : ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِالْ عَظِيمِ "Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar".(QS: Al-Jumuah Ayat: 4)

Mengapa Saya Mengagumi Buya Hamka

Kekaguman saya terhadap Buya Hamka selain beliau adalah salah seorang sosok alim ulama yang menguasai bidang ilmu agama, beliau juga seorang ulama yang memiliki sikap pendirian yang teguh dalam menyuarakan kebenaran. Sehingga tidak heran bila beliau harus mendekam di dalam bui untuk tetap tegar diatas pandangan beliau. Lebih dari itu seorang alim yang banyak menimba ilmu agama dengan membaca buku-buku namun dengan kedalaman pemahamannya beliau justru menampakkan kebersihan akidahnya tanpa terjerumus dalam penyimpangan.

Beliau juga adalah seorang pujangga dan sastrawan yang memiliki karya-karya yang cukup menyentuh hati. Gaya bahasa beliau sangat tinggi dan menambah khazanah berpikir bagi yang mendalami karya beliau.

Namun beliau adalah manusia biasa yang bukan berarti terluput dari kesalahan dan kesialapan semoga Allah mengampuni beliau.

Semoga Allah Merahmati beliau

Renungan Untuk Bangsaku

Jangan terlalu mudah terprovokasi oleh isu-isu ringan dan tidak bermutu yang sifatnya kontemporer namun dampaknya jangka panjang. Tidakkah kalian belajar dari sejarah tentang strategi politik Belanda melumpuhkan sebagian besar kepulauan Nusantara? Bukankah semua dapat disikapi dengan bijaksana tanpa harus mengeluarkan pernyataan yang keliru bahkan justru menunjukkan kepura-puratahuan atas segala hal? Alangkah mirisnya melihat mereka yang disaat mendengar atau membaca sebuah atau beberapa berita tiba-tiba muncul dengan berbagai komentar yang tidak dibangun diatas wawasan ilmiah.

Sebagai contoh kasus, saya teringat dengan dengan pandangan salah seorang dosen UNHAS yang menganggap saat ini terlalu banyak lahir politisi dari sekedar modal membaca, mengumpulkan, dan mengaitkan berita satu dengan yang lainnya dari berbagai media dan surat kabar kemudian berangkat dari modal bacaan tersebut berani membangun sebuah kerangka "teori baru". Padahal teori yang dihasilkan tidak lebih dari teori konspirasi yang tidak bermutu.

Seandainya orang-orang lebih berbicara sesuai dengan kadar ilmunya maka sungguh hal ini adalah sangat baik bagi diri pribadi dan bangsa. Bukankah diantara ciri-ciri dekatnya akhir zaman ketika ramai bermunculan para "ruwaibidhoh" Apakah itu ruwaibidhoh? Mari kita simak hadits berikut ini:

" سيأتي على الناس سنوات خداعات يصدق فيها الكاذب و يكذب فيها الصادق و يؤتمن فيها الخائن و يخون فيها الأمين و ينطق فيها الرويبضة . قيل : و ما الرويبضة ؟ قال : الرجل التافه يتكلم في أمر العامة "

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan; pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani). Riyadh, 14 Shafar 1435 H (Bersambung)